Kamis, 27 Januari 2011

telaah tafsir Nawawi al Bantani

I.           Pendahuluan  

          Sebagai kitab suci dan pedoman hidup bagi umat manusia, Al Qur'an mempunyai peran penting dalam kehidupan setiap individu yang senantyasa ingin berjalan pada jalan benar demi menggapai keridhoan Allah SWT. Maka pemahaman isi Al Qur'an menjadi satu kepentingan yang tidak bisa lagi dielakkan. Atas dasar kepentingan tersebut, munculah berbagai macam produk tafsir yang kerap berbeda satu dan yang lainnya.
          Perbedaan dalam penafsiran yang terjadi tidak boleh lepas dari pengamatan kita, karena tak jarang perbedaan itu dapat menimbulkan pemahaman yang relative berbeda. Maka dari itu, kita harus senantyasa berusaha untuk mengetahui berbagai metode yang dipakai dan latar belakang dari setiap mufassir karena latar belakang dari para mufassir itu sendiri dapat menimbulkan perbedaan yang tidak bisa dipungkiri lagi.
          Dalam sejarah perkembangan tafsir, telah dapat kita temukan berbagai macam produk tafsir yang berbeda. Kita juga dapat mengetahui banyaknya ulama muslim yang berkecimpung dalam hal ini demi menggali makna terdalam yang terkandung dalam Al Qur'an. Dan terkadang kita lupa bahwa tak sedikit produk tafsir yang berhasil ditulis oleh para ulama Indonesia sendiri, seperti Tafsir milik Syeikh Nawawi Al Bantani yang berjudul Tafsir Al Munir li Ma'alim at Tanzil yang akan berusaha dibahas dalam kesempatan ini.

II.   Sekilas Tentang Syeikh Nawawi al Bantani
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani.
Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid.
Ketika berusia 5 tahun, Syeikh Nawawi bersama saudara-saudaranya mendapat pendidikan agama langsung dari Bapaknya. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya meliputi pengetahuan dasar bahasa Arab, Fiqih, Tauhid dan Tafsir. Dan setelah 3 tahun belajar pengetahuan-pengetahuan dasar tersebut, Syeikh Nawawi kemudian menimba Ilmu ke beberapa pesantren di Jawa. Bersama kedua saudaranya Tamim dan Ahmad, Nawawi muda berguru kepada KH. Sahal, seorang Ulama Banten yang sangat terkenal pada saat itu. Setelah merasa cukup belajar pada KH. Sahal, ia dan kedua Adiknya merantau dan berguru lagi kepada Raden H. Yusuf di Purwakarta.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya pada tahun 1833 dengan ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Syeikh Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya didatangi oleh santri dari berbagai pelosok. Namun beberapa tahun kemudian Syeikh Nawawi pun memutuskan untuk kembal ke Mekkah dan lalu bertempat tinggal di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu ia belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya bermukim di Mekkah. Sedangkan di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Setelah kurang lebih 30 tahun menimba ilmu, pada tahun 1860 Syeikh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian temannya yang memintanya untuk menuliskan beberapa kitab. Dan kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari  pulau Jawa, hal ini dapat dilihat dari setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab Syareh dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Adapun alasan Syeikh Nawawi menulis Syarah dari kitab-kitab terdahulu adalah karena permintaan orang lain, dan keinginannnya sendiri untuk melestarikan karya-karya pendahulunya.


Karya-karya Syeikh Nawawi al Bantani dalam bidang ilmu kalam dan akhlak, antara lain ;
1.      Fath al-Majid, ulasan dari kitab al-Durr al-Farid Fi al-Tauhid.
2.      Al Nahjah al-Jadidah yang ditulis pada tahun 1303H
3.      Tijam al-Darari, ulasan atas kitab al-‘alim al-Allamah Syeikh Ibrahim al-Bajuri fi al-Tauhid.
4.      Nasaih al-Ibad, syarah atas kitab Masa’il Abi Laits, karya Imam Abi Laits.
5.      Salalim al-Fudlala, ringkasan terhadap kitab Hidayatul Azkiya ila Thariqil Awliya, karya Zeinuddin ibn Ali al-Ma’bari al-Malibari.
Karya-karya Syeikh Nawawi al Bantani dalam bidang fiqih, antara lain ;
1.      Sulam al-Munajah, syarah atas kitab Safinah ash-Shalah, karya Abdullah ibn Umar al-Hadrami
2.      Kasyifatus Saja, syarah atas kitab Syafinah an-Najah, karya Syekh Salim ibn Sumair al-Hadrami.
3.      Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain, kitab fikih mengenai hak dan kewajiban suami-istri.
4.      Fath al-Mujib yang ditulis pada 1276 H. kitab ini merupakan ulasan ringkas atas kitab khatib al-Syarbani fi al-Manasik.
5.      Al-Tausyih yang ditulis pada 1314 H. ini berisi ulasan atas kitab fath al-Qarib al-Mujib karya ibn Qasim al-Ghazi.
Karya-karya Syeikh Nawawi al Bantani dalam bidang kesusatraaan, antara lain ;
1.      Syarah al-Jurumiyah, isinya tentang tata bahasa Arab
2.      Lubab al-Bayan yang membahas ilmu balaghah dan merupakan ulasan atas kitab Risalat al-Isti’arat karya al-husain al-Nawawi al-maliki
3.      Fath al-Ghafir al-Khattiyah yang berisi ulasan atas kitab Nuzum al-Jurumiyah Al-Musamma bi al-Kaukah al-Jaliyah karya Imam “Abdul salam ibn Mujahid al-Nabrawi
4.      Al-Fhusus al-Yaqutiyyah ‘ala Raudhat al_Mahiyah fi al-Abwab al-Tashrifiyah  yang membahas marfologi atau ilmu sharf
Karya-karya Syeikh Nawawi al Bantani dalam bidang sejarah, antara lain ;
1.      Fath al-Shamad. Kitab ini berisi ulasan atas Kitab Maulid  Al-Nabawi.
2.      Bughyat al-Awam fi syarh Muwlid Sayyid al-Anam SAW, li ibn jauzi.
3.      Ad-Durar al-Bahiyah fi syarh Khashaish an-Nabawiyyah.
4.      Targhib al-Mustaqim berisi ulasan atas kitab Manzumat al-Sayid al-Barzanji Zan al-‘Abidin fi Mauli, karya Sayyid al-Awlin.
5.      Al-Ibriz al-Dani yang berisi sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw
Karya-karya Syeikh Nawawi al Bantani dalam bidang tafsir, antara lain ;
      1.   Tafsir al-munir
      2.   Hilyat ash-Shibyan fi syarh Lubab al-Hadits li as-Suyuthi.

III.           Metodologi Tafsir Al Munir
3.1.  Profil Kitab Tafsir Al-Munir
Kemunculan Tafsir al-Munir menandakan adanya perkembangan penulisan tafsir di Indonesia sampai abad ke-19. Terdapat tiga nama yang diberikan Syeikh Nawawi pada tafsirnya cetakan Beirut yang diterbitkan tahun 1981, yaitu Marah Labid, Tafsir al Nawawi dan al Tafsir al Munir li Ma'alim al Tanzil. Tafsir al-Munir pertama kali ditulis oleh Syeikh Nawawi pada tahun 1860-an dan selesai pada hari Selasa malam Rabu 5 Rabiul Awal 1305 H (1884 M), yang berarti proses penggarapannya berlangsung selama 15 tahunan. Sesuai dengan kebiasaannya dalam menulis, Syeikh Nawawi menyodorkan karya tafsirnya itu kepada ulama-ulama Mekkah untuk diteliti terlebih dahulu sebelum dicetak. Percetakan ulang yang dilakukan di Halabi (Kairo) terdiri dari dua jilid dengan kira-kira 500 halaman tiap jilidnya. Jilid yang pertama dimulai dari surat al-Fâtihah sampai dengan asal surat al-Kahfi, sedangkan jilid dua dimulai dari lanjutan surat al-Kahfi sampai dengan surat an-Nas.
Adapun motifasi penulisan tafsir ini atas permintaan dari sekelompok orang, sebagaimana telah disebutkan oleh Syeikh Nawawi dalam muqoddimah tafsirnya. Setelah ditelusuri ternyata dapat disimpulkan bahwa sekelompok orang yang dimaksud adalah sekelompok murid-muridnya dari pulau Jawa dikarenakan masih minimnya literature kitab tafsir yang lengkap hingga 30 juz di Indonesia. Dan motifasi lain dari penulisan kitab tafsir ini adalah kesadaraan Syeikh Nawawi akan perkembangan zaman yang menuntut lahirnya penafsiran-penafsiran yangbaru.
3.2.  Metodologi Penafsiran Kitab Tafsir Al-Munir
     Yang dimaksud metodologi penafsiran adalah metode tertentu yang digunakan oleh mufassir dalam penafsirannya. Pada umumnya metode ini terbagi menjadi empat, yaitu metode ijmali, tahlili ( analitis ), muqorin ( perbandingan ), maudhu'i ( tematik ). Dan setiap metode yang digunakan pasti memiliki suatu ciri dan spesifikasi masing-masing.
Tafsir al Munir li Ma'alim at Tanzil ini dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir dengan metode ijmali ( global ). Karena dalam menafsirkan setiap ayat, Syeikh Nawawi menjelaskannya dengan ringkas dan padat, bahasa yang digunakan mudah dimengerti dan penjelasannya pun mudah dipahami. Sistematika penulisannya pun menuruti susunan ayat-ayat dalam mushaf. Seperti penafsirnnya pada suatu ayat :
{إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ} أي الذين كفروا في علم الله متساو لديهم إنذارك إياهم بالقرآن وعدمه وهم لا يريدون أن يؤمنوا بما جئت به فلا تطمع يا أشرف الخلق في إيمانهم، ثم ذكر الله سبب تركهم الإيمان بقوله تعالى: {خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ} أي طبع الله على قلوبهم فلا يدخلها إيمان وعلى سمعهم فلا ينتفعون بما يسمعونه من الحق ووحّد السمع لوحدة المسموع وهو الصوت 
Metode ijmali ( global ) memiki perbedaan yang sangat jelas dengan metode muqorin ( komparatif ) dan metode maudhui ( tematik ). Pada metode ijmali tidak menggunakan atau memunculkan perbedaan seperti pada metode muqorin dan tidak terkumpul dalam satu tema tertentu seperti pada metode maudhui.

Akan tetapi nyaris terdapt kesamaan antara metode ini dengan metode tahlil (analitis), namun uraian yang disampaikan pada metode analitis lebih luas dan rinci
Bagaimanapun bentuk metodologi yang dipakai, ia tetap merupakan produk ijtihadi atau hasil dari olah pikir manusia yang memiliki keterbatasan. Dan keterbatasan inilah yang menimbulkan ketidak sempurnaan, maka pada metode ini dapat kita temukan kelebihan dan kekurangan yang akhirnya menjadi ciri-ciri yang ada pada setiap metode.
Adapun kelebihan dari metode ijmali adalah ;
1.      Praktis dan mudah dipahami
2.      Bebas dari penafsiran isroiliyat
3.      Akrab dengan bahasa Al Qur'an
 Selain dari pada kelebihan, metode ijmali ini pun memiliki kekurangan ;
1.      Menjadikan petunjuk Al Qur'an bersifat parsial
2.      Tak ada ruangan yntuk mengemukakan analisis yang memadai

IV.            Analisa terhadap Tafsir Al Munir li Ma'alim at Tanzil
Dalam menganalisa satu kitab tafsir terdapat beberapa aspek mendasar yang harus diketahui dan dikaji sebelum adanya kesimpulan akhir dalam penentuan metode yang digunakan oleh seorang mufassir dalam kitab tafsirnya. Adapun aspek-aspek tersebut adalah ;
a.       Peninjauan dari pendekatannya
b.      Peninjauan dari cara penjelasan dalam tafsir tersebut
c.       Peninjauan dari segi keluasan bahasanya
d.      Peninjauan dari cara penertiban ayat
e.       Dan terakhir adalah peninjauan dari segi kecenderungan mufassir dalam penafsirannya
Berikut adalah analisa terhadap tafsir Al Munir li Ma'alim at Tanzil yang dipandang dari kelima aspek yang telah disebutkan di atas.
1.    Apabila ditinjau dari pendekatan yang digunakan dalam suatu penafsiran, maka dapat disimpulkan terdapat dua sumber di dalamnya. Yaitu penafsiran bi al ma'tsur dan bi ar ra'yi Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi al ma'tsur adalah  penafsiran yang berbentuk riwayat, adapun batasan tafsir bi al ma'tsur adalah tafsir yang diberikan oleh Al Qur'an, sunnah Nabi, dan para sahabat. Dan yang dimaksud dengan tafsir bi ar ra'yi adalah bentuk penafsiran melalui pemikiran dan ataupun ijtihad.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa penafsiran dalam kitab   Tafsir al Munir li Ma'alim at Tanzil bersumber dari pemikiran yang  tergolong mendominan dalam setiap penafsirannya, meskipun tak jarang    Syeikh Nawawi menggunakan periwayatan untuk mendukung penafsirannya.
                        Seperti penafsiran dalam surat al fatihah, ayat ke 7 ;
{صِرَاطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ} أي دين الذين مننت عليهم بالدين من النبيين والصدِّيقين والشهداء والصالحين. {غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ} أي غير دين اليهود الذي غضبت {عَلَيْهِمْ وَلاَ ٱلضَّآلِّينَ} أي غير دين النصارى الذين ضلوا عن الإسلام ويقال: المغضوب عليهم هم الكفار، والضالون هم المنافقون لأن الله تعالى ذكر المؤمنين في أول البقرة في أربع آيات ثم ثنَّى بذكر الكفار في آيتين، ثم ثلَّث بذكر المنافقين في ثلاث عشرة آية. ويسنُّ للقارىء بعد فراغه من الفاتحة أن يقول: آمين وهو اسم بمعنى فعل أمر، وهو استجب
Pada ayat ini, tidak kita temukan adanya periwayatan yang lalu digunakan sebagai dasar argument atas penafsirannya.
2.    Pada aspek kedua adalah peninjauan yang dilihat dari cara penjelasannya. Hal ini dapat dilihat dari cara dalam menjelaskan suatu ayat, apakah mufassir menjelaskannya dengan cara bayani atau muqorron ( komperatif ). Penjelasan secara bayani adalah penjelasan yang langsung dan adapun penjelasan muqorron adalah penjelasan dengan system perbandingan. Yang dimaksud dengan perbandingan adalah perbandingan antara satu ayat dengan ayat yang lain.
     Dan Syeikh Nawawi al Bantani menggunakan cara penjelasan yang bayani. Hal ini dapat dibuktikan dengan penafsiran setiap ayat yang langung dijelaskan tanpa membandingkan dengan ayat-ayat lain.
3.      Aspek ketiga dari metode yang digunakan adalah dari segi keluasan bahasanya. Dalam aspek ini terdapat dua bagian yaitu ijmali dan itnabi.dan Syeikh Nawawi memilih penafsiran secara ijmali, tanpa menjelaskan dengan rinci aspek kebahasaan ataupun kesusasteraannya.
4.      Dan adapun yang termasuk dalam aspek keempat adalah tentang cara penyusunan atau penertiban ayat. Terdapat tiga cara penertiban ayat dalam suatu kitab tafsir, tahlili, maudhu'i. dan nuzuli. Tahlili adalah penyusunan ayat secara urut, dari surat pertama sampai terakhir. Maudhu'i adalah penyusunan ayat dengan cara pengelompokan ayat-ayat dalam satu judul atau tema. Dan nuzuli adalah penyusunan ayat sesuai dengan rentetan asbabun nuzul yang dimiliki.
Dapat disimpulkan, tafsir Al Munir li Ma'alim at Tanzil ini tersusun secara tahlili, yang berurutan dari serat pertama al fatihah sampai surat terakhir an nas dan tidak dikelompokkan sesuai tema tertentu ataupun sesuai asbabun nuzulnya.
5.      Peninjauan terakhir dari kelima aspek diatas adalah peninjauan secara latar belakang atau kecenderungan mufassir dalam penafsiraanya. Terdapat banyak kitab tafsir dengan perbedaan di dalamnya, dan kecenderungan mufassir sendiri sangat menentukan produk tafsirnya. Mufassir  yang lebih cenderung pada kajian kebahasaan akan membahas secara rinci kedudukan nahwu, shorof dan balaghohmya.
Lain halnya dengan mufassir yang cenderung pada fiqihnya, maka mufassir tersebut akan membahas secara detail setiap ayat yang berhubungan dengan kajian fiqih.
             Pada hal ini, tafsir  Al Munir termasuk dalam kelompok tafsir yang memiliki kecendrungan fiqhi  karena dalam penafisrannya Syeikh Nawawi selalu berusaha utnuk menafsirkan secara detail pada setyap ayat fiqih.

V.           Penutup dan Kesimpulan

Tafsir Al Munir li Ma'alim at Tanzil adalah merupakan salah satu karya tafsir ulama Indonesia. Kemunculan tafsir ini di Indonesia menjadi salah satu pemicu semangat bagi para ulama lain untuk senantyasa mengembangkan keilmuannya.
Tafsir ini merupakan salah satu Bagian dari tafsir ijmali, karena penjelasan yang relative singkat, ringkas dan terkesan  tidak analitis. jika dipandang dari sudut sembernya, tafsir ini merupakan bagian dari tafsir bi al ra'yi, dikarenakan sedikitnya periwayatan yang digunakan dan mendominasinya penafsiran dari hasil pemikiran Syeikh Nawawi sendiri.

2 komentar:

  1. terima kasih saya butuh data ini untuk referensi. jazakallah khair

    BalasHapus
  2. Kalaau boleh tau mbaa .. Referensi dr buku apa saja . kbetulan sy manelaah kitab beliau . trmksh mba

    BalasHapus